Pemberdayaan Konsumen Televisi Melalui Ketrampilan Media Literacy dan Penegakan Regulasi Penyiaran
LITERACY DAN
PENEGAKAN REGULASI PENYIARAN
Oleh: Rachmat
Kriyantono1
Dimuat di Jurnal Penelitian Komunikasi,
Media Massa dan Teknologi Informasi, vol 10 no 21, 2007 ISSN 1978-5518
Abstract:
Since
reformation era, we have been living in media industry. Now we are living in
the era of “television-booming”. There are many television channels come to our
home everyday. They are national, local and community televisions which make
tight competition occur. Of course, we
–as
the consumers of media- are given various programs. It is important to ask how
the regulation works. Is the growth of television channels followed by law
enforcement? Is the growth of television channels ensued by the ability of
audience’s media literacy? This article tries to discuss the roles of the
broadcasting regulation and suggests holding the program of media-literacy for
society.
Kata
Kunci: media literacy, televisi, orang tua, remaja
ERA
INDUSTRI MEDIA
Sejak era reformasi, Indonesia mengalami
“booming” media televisi. Kita hidup dalam era industri televisi. Setiap detik,
rumah kita tiada henti disuguhi produk-produk informasi dari media. Informasi
menjadi ”sarapan pertama” di pagi hari dan ”menu terakhir” menjelang tidur.
Untuk televisi, setiap hari kita disuguhi berbagai tayangan televisi dari
puluhan televisi. Sebut saja RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, ANTV, Trans TV, Trans7,
Lativi, Global TV, Metro TV, dan TVRI. Mereka adalah stasiun televisi yang
siarannya ”masih” bersifat nasional. Munculnya UU Penyiaran no 32 tahun 2002,
sebagai produk reformasi, menyebabkan langit pertelevisian kita semakin
beragam. Televisi-televisi lokal dan komunitas mulai tampak bagaikan jamur.
Sebut saja JTV, Bali TV, Riau TV, Batu TV, AgroTV Batu, Spacetoone, Mahameru
TV, Dharma TV, dan lain-lainnya.
Konsumen televisi pun semakin dimanjakan
dengan tampilan berbagai varian program. Memang tidak semuanya adalah program
yang benar-benar baru. Banyak juga yang ”baru” tapi ”stok lama” alias duplikasi
atau sekedar latah ”nunut populer” program lainnya. Pertanyaannya adalah apakah
perkembangan industri televisi ini diikuti oleh perkembangan pola pikir
konsumen televisi dalam mencerna setiap program? Imbas dari pertanyaan ini
mengajak kita memasuki ranah dampak tayangan bagi konsumen dan bagaimana peran
regulasi.
Hal tersebut juga berlaku untuk media
lainnya, seperti surat kabar, radio, dan majalah. Untuk surat kabar, Subiyakto,
2001: 18 (dalam Kriyantono, 2002: 63)
1
Rachmat Kriyantono, S.Sos, M.Si adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas
Brawijaya Malang.
mengatakan
bahwa di media cetak, telah terjadi booming yang cukup besar, dengan
kemudahan mendirikan penerbitan dan dihapuskannya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers). Menurut catatan Serikat Penerbitan Pers (SPS) selama 1997 hingga akhir
1999 saja telah terjadi penambahan 1398 penerbitan pers.
Keberadaan televisi yang makin marak
mengiringi modernisasi di tengah masyarakat ternyata tidak sepenuhnya menyumbangkan
kontribusi positif bagi masyarakat. Di satu sisi dengan adanya media televisi
memang memungkinkan bagi masyarakat untuk mengakses informasi sebanyak dan
sejauh yang bisa dicapai. Media televisi pun sukses menjadi jembatan
globalisasi dan menipiskan batas-batas jarak maupun ruang antara wilayah yang
disebut negara. Mengutip satu konsep yang digagas oleh tokoh komunikasi
Marshall Mc Luhan yaitu “global village” atau kampung global, maka televisi
telah menunjukkan keampuhannya mewujudkan konsep tersebut. M. Luhan mengatakan
“...by electricity we every whre resume person to person relations as if or
the smallest village scale”.
Di sisi lain, keberadaan televisi tidak
lepas dari kepentingan komersialisasi. Artinya, eksistensi televisi juga
bergerak dengan logika ekonomi dan pasar. Televisi juga menjadi produsen dan
menghasilkan produk untuk ditawarkan pada audiens sebagai pasarnya. Kepentingan
komersial media televisi inilah yang seringkali akan berada dalam kondisi
”semrawut” dengan fungsi idealnya; menjadi jendela bagi atau lokus informasi
dan sumber data bagi masyarakat. Bahkan dalam suatu kondisi ekstrem, manakala
kepentingan komersial ini lebih dominan, media televisi tidak lebih
berfungsi hanya sebagai sarana perpanjangan tangan kelompok kapitalis untuk
mencetak keuntungan sebesar-besarnya. Meskipun dengan risiko mengorbankan misi
sucinya memberikan perubahan positif bagi masyarakat.
MEDIA
DI MASYARAKAT
Organisasi media mendistribusikan pesan
yang tidak hanya mempengaruhi tetapi juga merefleksikan kebudayaan suatu
masyarakat. Sehingga apa yang terjadi di media menggambarkan apa yang terjadi
di masyarakatnya. Apabila sekarang di media-media televisi kita yang menduduki
peringkat rating tertinggi adalah tayangan-tayangan yang bermuatan kekerasan,
gosip, dan misteri berarti mau tidak mau kita harus mengakui bahwa itulah
gambaran masyarakat kita saat ini masyarakat yang menyukai keburukan orang
lain, hal-hal yang berbau mistis, dan suka melakukan kekerasan.
Tetapi di sisi lain –dalam perspektif Agenda
Setting dan Teori Kultivasi- media televisi berkontribusi besar membentuk pola
pikir demikian. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan fungsi media sebagai agen
pewarisan sosial maka nilai-nilai kekerasan, mistis, dan gosip itulah yang
diwariskan media ke anak cucu kita. Melalui strategi tayangan –cara frame,
penonjolan karakter, cara bercerita, dll- televisi bertanggung jawab membentuk
pola pikir yang “aneh”. Misalnya, seorang Aa’ Gym menjadi sorotan bahkan
dibenci penonton hingga sempat “hilang” dari layar televisi ketika memutuskan
poligami. Padahal tidak ada larangan poligami dalam agama Islam. Tayangan
televisi seakan-akan memvonis perilaku tersebut sebagai hal yang tabu. Tetapi,
bagaimana Inul Daratista dielu-elukan televisi –sebagai ikon pembangkit rating-
karena goyang ngebor yang “tidak perlu”. Bagimana Andarla Early dan artis lain
yang “menjual diri” dengan pose “menggiurkan” di majalah Playboy malah menjadi
ladang menarik penonton. Artinya,
dunia ini terbalik. Yang tidak dilarang agama
dikucilkan, yang dilarang agama menjadi besar.
Menurut Laswell
(dalam Tankard, 2005 : 386) ada 3 fungsi media massa :
1.
Pengawasan (surveillance)
Disini media sebagai pemberi informasi
mengenai lingkungan sosial.
2.
Korelasi (correlation)
Media berfungsi sebagai
penyeleksi dan penginterpretasi informasi tentang lingkungan sosial
3.
Penyampaian
warisan sosial (transmission of the social herritage)
Merupakan suatu fungsi
dimana media menyampaikan informasi, nilai dan norma dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Oleh karena itu apabila tayangan kekerasan, gossip,
misteri serta tayangan – tayangan yang berbau sensasionalitas menempati segmen
terbanyak dalam media kita maka hal itulah yang generasi kita wariskan kepada
generasi selanjutnya dalam hal ini anak-anak penerus bangsa.
Di zaman globalisasi ini media memegang
peranan penting dalam memfasilitasi perubahan sosial. Media menjadi salah satu
simbol modernisasi. Televisi bukan lagi barang mahal yang hanya dapat dimiliki
tingkat ekonomi masyarakat tertentu tetapi sekarang hampir semua golongan mulai
dari tingkat akar rumput mengkonsumsi media ini dalam kehidupan sehari-hari.
Gerbner dengan Teori Kultivasi percaya bahwa televisi adalah salah satu
pengalaman yang hampir selalu dialami oleh setiap individu dalam kehidupannya
dan hal tersebut memiliki dampak terhadap bagaimana individu melihat dunia
(Littlejohn, 1999:344) Salah satu hal yang paling menarik dalam teori kultivasi
adalah adanya “mean world syndrome”. Para pemirsa berat televisi (hard-viewer)
percaya bahwa dunia mereka adalah dunia yang berbahaya dan penuh dengan
kekerasan karena media yang mereka konsumsi sehari-hari selalu menayangkan
kekerasan.
Sebuah teori dari bidang psikologi juga
turut memberikan sumbangsih dalam memperluas wacana kita tentang dampak media.
Teori Pembelajaran Sosial (Social-Learning Theory) dari Albert Bandura
(1977, 1994) menyatakan bahwa individu belajar tentang sesuatu hal
melalui pengamatan pada perilaku orang lain. Jenis pembelajaran tersebut dapat
dengan jelas terjadi melalui media massa. Seorang individu dalam hal ini
anak-anak dapat terlibat dalam perilaku tertentu di televisi dan dapat
mempraktikan perilaku itu dalam kehidupannya. Mendukung hal tersebut Tankard
(2005) mengemukakan tentang “imitating” atau “modelling hypotesis”
bahwa individu mempelajari perilaku agresif dari televisi dan kemudian
memproduksi perilaku tersebut. Sepanjang sejarah pertelevisian, keprihatinan
utamanya adalah kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi. Analisis isi
menunjukkan bahwa televisi menghidangkan segmen tayangan kekerasan yang banyak
sekali.
Steinfeld (dalam Tankard, 2005 : 338)
menunjukkan bahwa menjelang usia 12 tahun, rata – rata anak akan menyaksikan
101.000 episode kekerasan di televisi, termasuk di dalamnya 13.400 kematian.
Hal ini patut kita beri perhatian lebih karena menurut hipotesis rangsangan
(Tankard, 2005:339) memprediksikan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan
menyebabkan peningkatan dalam perilaku agresif yang sesungguhnya. Tidak dapat
dibayangkan betapa mengerikannya ketika pada usia 12 tahun anak-anak sudah
tereksploitasi dengan sekian ribu tayangan kekerasan dan dapat berdampak pada
perilaku mereka.
MUTU
SIARAN RENDAH
Media televisi, di Indonesia menjadi
media dengan konsumen terbesar dibanding jenis media lainnya (cetak, radio dan
interaktif/internet). Peluang mencari keuntungan pun semakin besar. Namun,
sistem kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan semakin mewarnai pola
perilaku siaran televisi. Rating menjadi dewa segala-galanya bagi industri ini.
Yang penting iklan masuk. Semakin tinggi rating, semakin besar uang yang masuk
kocek. Mereka dengan percaya diri menganggap bahwa tayangannya digemari hanya
berdasarkan hitung-hitungan rating. Meskipun hingga kini tidak ada jaminan
berapa sebenarnya yang suka, berapa yang tidak suka. Jadi, besar kemungkinan
terjadi
”bias-rating’.
Masyarakat Indonesia yang sebagian besar
belum memiliki tradisi membaca, menjadikan media televisi ini sebagai rekan
pengisi waktu luang. Menganggap televisi telah mampu memenuhi semua kebutuhan
akan media, termasuk di dalamnya memperoleh informasi bahkan menginterpretasi
realitas. Ironisnya, terkadang media lebih dipercaya daripada relasi sosial
yang lebih kongkret. Apa yang disajikan di televisi yang bersifat realitas
simbolik, itulah yang dianggap sebagai realitas objektif yang tengah terjadi di
luar sana. Bahkan semakin lama, media memberikan interpretasi sepihak sehingga
mengarahkan pikiran audiens agar mengikuti alur logikanya.
Banyak sekali tayangan sinetron di layar
televisi kita -yang jika diamati lebih mendalam -bersifat fitnah, menghasut,
menyesatkan dan atau bohong. Jelas ini bertentangan dengan UU Penyiaran
32/2002. Mayoritas acara televisi adalah sinetron yang ’serba ekstra’ (ekstra
sadis, ekstra sial, ekstra baik, ekstra kaya raya, ekstra mistis, ekstra
cantik, dan ekstra lainnya), tayangan gosip yang “setiap detik” hadir dengan
beragam judul namun seragam dalam substansi, serta acara kriminal yang justru
tidak memperingatkan audiensnya agar waspada namun malahan menakut-nakuti dan
pamer kegagahan aparat atau kesadisan pelaku.
Artinya, tayangan-tayangannya cenderung
tidak realistis, mengada-ada, hipereality, dan sulit diterima nalar. Hal
ini bukan hanya karena isi tayangan bersifat mistis, tapi juga untuk
tayangan-tayangan yang non-mistis. Bahkan dengan seringnya tayangan mistis,
maka media semakin mengeksplorasi dunia irrasional kita. Ini negatif bagi
kemajuan bangsa. Jika pola pikir irrasional (klenik, mitos) banyak mewarnai
perilaku kita maka bangsa ini sulit berkembang.
Contoh sederhana yang dapat diamati dari
tampilan sinetron yang cukup populer berjudul Bidadari yang ditayangkan di
RCTI. Dalam salah satu adegannya, ditampilkan seorang siswi SMP menyiramkan air
raksa ke wajah temannya. Banyak tayangan-tayangan berbau seks yang dibungkus
(baca: diperhalus) tayangan-tayangan religi, seperti kisah-kisah pelacur, istri
yang selingkuh dalam sinetron Rahasia Ilahi, Hidayah, dan lainnya. Bahkan
tayangan yang isinya kebanyakan tentang ”azab Tuhan” yang dikemas berlebihan
itu sering membuat saya berguman: ”woh.. apa benar Allah sekejam itu....
manusia
saja bisa memaafkan kesalahan, apalagi Allah”.
Ada siswa SD yang berani meledek gurunya
di depan kelas dalam sinetron Kecil-Kecil Ngobyek. Seorang Ibu kaya raya,
berpendidikan tinggi dengan gampangnya meminta anaknya yang seorang dokter
untuk kawin kontrak agar mempunyai cucu kandung. Padahal si anak sudah
mempunyai istri. Dengan entengnya ibu tersebut
mengatakan
kepada menantunya: ”Jangan khawatir Intan, Rado tetap suamimu. Setelah istri
kontraknya hamil dan melahirkan maka Rado dan kamu tetap suami-istri” (ikuti
Sinetron Intan-RCTI). Belum lagi isi berita kriminal yang setiap hari
ditayangkan di seluruh stasiun televisi kita. Berita pemerkosaan, perlakuan
tidak manusiawi pada pelaku kejahatan, dengan diikat lehernya menggunakan tali
dan hanya berpakaian dalam, perlakuan yang lebih sesuai untuk hewan daripada
manusia.Adegan-adegan dramatisasi seperti ini banyak sekali mewarnai tayangan-tayangan
televisi yang ironisnya menempati posisi rating tertinggi.
Padahal jiwa dan semangat UU Penyiaran
no 32/2002 dan regulasi penyiaran yang mengikutinya adalah demi mewujudkan isi
siaran yang baik, mendidik masyarakat, dan mendukung demokratisasi. Jika kita
tilik lagi pasal demi pasal dalam UU Penyaiaran no 32/2002, maka sebenarnya
telah mencakup minimal dua kriteria isi siaran dan praktik media yang
berkualitas dan dibutuhkan masyarakat, yaitu:
a.
Adanya
pluralitas dalam kepemilikan (Plurality of ownership of media)
Ini perlu agar tidak
terjadi monopoli informasi. Harus dibatasi kepemilikan pada satu orang, baik
untuk media sejenis atau pun kepemilikan silang (untuk lebih dari satu media).
Kenyataannya, masih banyak terpusatnya kepemilikan pada satu orang. Sehingga
bermunculan kelompok-kelompok raksasa yang menguasai berbagai media. Akibatnya
pada isi siaran adalah adanya keseragaman materi, program acara yang pernah
diputar di televisi yang satu diputar lagi di televisi lainnya yang masih satu kelompok.
b.
Keberanekaragaman
isi (Diversity of content)
Dengan aturan batasan
jangkauan dan standar isi siaran diharapkan membuat isi siaran lebih
bervariasi. Kesempatan lebih luas untuk mendirikan lembaga siaran (swasta,
lokal, komunitas, berlangganan) selain mencerminkan prinsip freedom of publication,
juga membuka peluang masyarakat mengekspresikan opini maupun kreativitasnya
(adanya diversity of expression). Kenyataannya, isi siaran televisi kita
masih seragam. Keseragaman ini terjadi antara lain karena:
·
Banyak
praktik daur ulang, duplikasi dan fenomena latah untuk nebeng
popularitas saja. Misalnya, acara infotaintmen yang selalu ada di semua stasiun
televisi. Bahkan ada stasiun televisi yang mempunyai lebih dari satu acara yang
“sekedar ngomongin
orang” ini, tentu dengan variasi judul, meski kemasan dan isinya sama. Dalam
jurnalistik, fenomena ini dikenal dengan consonance of journalism,
yaitu adanya perulangan pesan secara intensif sehingga terjadi keseragaman
pesan (message uniformity).
·
Rendahnya
kreativitas pengelola media. Munculnya “Jakartaisasi” merupakan buktinya.
Bahkan tayangan-tayangan yang berbau Jakarta - termasuk gaya bahasanya- masih
banyak ditemui pada televisi lokal maupun komunitas di daerah.
·
Media
masih berpola pikir “given” bukan “shape”. Artinya, media televisi jangan hanya
sekedar memberi tontonan untuk masyarakat. Tetapi, harus bertanggung jawab
membentuk pola pikir yang positif. Sehingga setiap tayangan harus
mempunyai
visi membentuk masyarakat yang berpendidikan, kritis, dan demokratif.
Lalu mengapa
hingga kini dua kriteria tersebut berjalan? Ada tiga hal yang perlu dilakukan
oleh semua komponen bangsa, yaitu:
- Pentingnya
kesadaran pengelola media akan tanggung jawab profesinya untuk memajuan
bangsa. Praktik media jangan hanya berdasarkan pada indikator-indikator
semu, seperti rating, iklan dan selera pasar.
- Pentingnya
sosialisasi ketrampilan media literacy bagi konsumen media. Para penonton
televisi mesti diberikan ”pencerahan” bagaimana cara memilih acara yang
berkualitas. Sosialisasi ini merupakan tanggung jawab bersama, baik
pemerintah, KPI, akademisi maupun pengelola media itu sendiri.
- Pentingnya
penegakan regulasi penyiaran dengan tegas. Dalam UU Penyiaran 32/2002
sudah jelas pembagian wewenang penegakan regulasi. Untuk materi isi,
kewenangan berada di tangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Prinsipnya,
harus ditegakkan apakah isi siaran sudah memenuhi asas public’s needs,
public’s necessity, dan public’s importance. KPI saat
ini telah menerbitkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran. Tetapi, penegakan regulasi tersebut tentu melibatkan
berbagai unsur lainnya, termasuk kepolisian, kejaksaan dan lainnya.
MEDIA LITERACY
BAGI KONSUMEN MEDIA
Pengaruh tayangan televisi sangat besar
bagi konsumen media. Salah satu elemen masyarakat yang rentan pada pengaruh
tayangan televisi adalah anak-anak dan remaja. Mereka adalah kelompok usia yang
mempunyai daya imitasi cukup tinggi. Mereka cenderung mempunyai rasa ingin tahu
yang besar. Salah satunya terhadap objek tayangan televisi. Secara psikologis,
remaja mempunyai kecenderungan untuk melakukan peniruan (imitasi) terhadap
tayangan-tayangan di televisi. Dikhawatirkan, semakin sering seseorang menonton
televisi akan mempengaruhi pola pikir maupun pola tindaknya. Hal ini diperkuat
oleh Teori Peluru yang menganggap tayangan media mempunyai kekuatan luar biasa
dalam mempengaruhi khalayak. Tayangan yang berbau kekerasan, klenik, pornografi
seyogyanya tidak dipertontonkan secara bebas.
Sayangnya, orang tua seringkali
menganggap sebagai hal yang biasa ketika remaja menonton televisi. Mereka
menganggap sesuatu hal biasa bila terjadi peniruan tayangan televisi. Karena
itu, perlu kiranya pemberian pengetahuan kepada remaja terhadap keterampilan
melek media. Sebagaimana kemampuan literacy pada umumnya, apa yang
disebut dengan “melek media” tentunya bukan sekedar kemampuan untuk menonton
atau menikmati tayangan media. Hal ini adalah kemampuan dasar manakala
seseorang memiliki fisik yang normal, tidak cacat.
Melek media adalah keterampilan untuk
menganalisis isi media. Dalam tataran yang sederhana, melek media adalah keterampilan
untuk mencerna tayangan media, mengkritisi, dan memilih untuk tidak mengonsumsi
tayangan karena menyadari isi tayangan tersebut memunculkan resiko. Tujuannya
agar konsumen media lebih mampu memahami dan tidak mudah meniru adegan yang
terdapat dalam tayangan apabila hal tersebut berbahaya.
Perhatian terhadap permasalahan yang
ditimbulkan oleh dampak tayangan seharusnya menjadi agenda prioritas saat ini.
Dengan keterampilan media literacy atau melek media, diharapkan para
remaja dapat menghadapi dampak negatif yang diakibatkan oleh televisi.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
ketrampilan media literacy ini mencakup:
1.
Memberikan
pengetahuan kepada konsumen media akan pentingnya memiliki keterampilan media
literacy dalam menonton tayangan media
2.
Menunjukkan
resiko yang dapat terjadi apabila konsumen media menonton tayangan yang
mengandung unsur-unsur berbahaya, semisal seks dan kekerasan, termasuk tayangan
yang bersifat irrasional.
3.
Memberikan
pembelajaran keterampilan panduan media bagi konsumen media.
4.
Meningkatkan
keterampilan komunikasi persuasif konsumen media dalam rangka sosialisasi
keterampilan media literacy pada peer group-nya.
Secara umum
program peningkatan ketrampilan media-literacy ini dapat bermanfaat untuk:
1.
Memberikan bekal
pengetahuan tentang media literacy.
2.
Dengan
kesadaran untuk menerapkan media literacy, diharapkan di masa mendatang
remaja mampu menyikapi kehadiran televisi dan meminimalisasi pengaruh negatif
yang diakibatkannya.
3.
Lebih
jauh, masyarakat Indoensia akan lebih cerdas menghadapi media televisi sehingga
memiliki daya untuk menolak, bahkan melawan program-program televisi yang
berpotensi merusak masa depan generasi bangsa.
Berdasarkan kenyataan tersebut melek
media menjadi suatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi di masyarakat kita
apabila kita ingin menyelamatkan generasi penerus bangsa kita. Perlunya sebuah
pengenalan bahwa media membangun gambaran dan pemahaman kita mengenai dunia
sosial. Media sudah menjadi pencerita kita (story tellers) tentang dunia
sosial, media juga penghibur kita ( entertainers ) dan secara khusus mereka
memiliki dampak terhadap diri kita semenjak kita seringkali tidak menyadari
bahwa sajian media itu sendiri adalah sebuah bentuk pengajaran atau edukasi
yang menyampaikan pengetahuan budaya, nilai-nilai dan norma – norma di
masyarakat yang baik kita sadari atau tidak membentuk the way of life
kita, bagaimana kita melihat dan hidup dalam dunia sosial kita. Konsep
"melek media" merupakan alternatif memberdayakan masyarakat di tengah
gempuran besar-besaran dari media.
Dalam media literacy terdapat
pengetahuan tentang bagaimana media bekerja, bagaimana media membangun
makna-makna sosial dan bagaimana media berfungsi dalam kehidupan kita
sehari-hari. Pada dasarnya, konsep ini memiliki tujuan untuk mendidik
masyarakat dalam hal ini remaja agar mampu menggunakan media secara cerdas dan
kritis. Sehingga remaja sebagai individu dapat meminimalisir ekses pesan media
terhadap perkembangan mereka. Seorang individu yang melek media kemudian
menjadi seorang individu yang mampu untuk membaca, memahami, mengevaluasi,
menyeleksi dan mengkritik pesan-pesan media. Melek media, kemudian diwujudkan
dalam tindakan konkret berupa pendidikan dan pelatihan bagi remaja mengenai dampak
dan isi media. Dengan kemampuan semacam ini, konsumen media bukan lagi sebagai
khalayak
pasif tetapi khalayak aktif yang dapat meyeleksi dan menginterpretasikan
pesan-pesan media.
PENEGAKAN
REGULASI PENYIARAN
Tak salah jika dikatakan kita ini hidup
dalam dunia penyiaran yang bebas. Sejak Deppen dilikuidasi tahun 1999, produk
hukum penyiaran yang dihasilkannya (UU Penyiaran 24/1997) juga turut
dilikuidasi. Penggantinya (UU Penyiaran 32/2002) ternyata hingga kini masih
dilaksanakan “setengah hati”. Bahkan Direktur Penyiaran Ditjen Sarana
Komunikasi dan Diseminasi Informasi Depkominfo dalam Forum Sosialisasi Regulasi
Penyiaran di Malang menyebutnya sebagai kevakuman pelayanan publik di bidang
penyiaran yang terjadi selama 4,5 tahun terakhir ini.
Bisa ditebak apa yang terjadi. Di bidang
perizinan, telah tumbuh ribuan lembaga penyiaran illegal yang bahkan mendesak
stasiun penyiaran yang berizin resmi, banyaknya izin-izin penyiaran lokal yang
dikeluarkan pemerintah daerah dengan dasar UU Otonomi Daerah (bukan UU
Penyiaran), dan penggunaan frekuensi yang “semau gue”. Di bidang isi siaran,
terjadi kebebasan memproduksi tayangan tanpa bisa diatur sehingga dapat
berpengaruh negatif terhadap masyarakat khususnya anak-anak. Pengelola media
masih banyak yang tidak patuh pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran dari KPI. Sebenarnya, UU Penyiaran no 32/2002 dengan jelas
membuat regulasi tentang standar siaran. Standar ini mestinya menjadi acuan
bagi pengelola media dalam memproduksi tayangan media, antara lain bahwa
tayangan media mesti mengandung:
a.
rasa hormat
terhadap pandangan keagamaan
b.
rasa hormat
terhadap hal pribadi
c.
kesopanan dan
kesusilaan
d.
pembatasan
adegan seks, kekerasan, dan sadisme
e.
perlindungan
terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan
f.
penggolongan
program berdasarkan usia khalayak
g.
aturan penyiaran
program dalam bahasa asing
h.
larangan siaran
bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong
i.
larangan
menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika, dan
obat terlarang
j.
larangan
mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan
k.
larangan
memperolok, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama,
martabat manusia Indonesia atau merusak hubungan internasional.
Selain itu,
kevakuman ini menyebabkan masih adanya pemusatan kepemilikan, modal asing, dan
maraknya kepemilikan silang.
DAFTAR
PUSTAKA
Kriyantono, Rachmat, 2002, Aplikasi
Teori Niche Dalam Penelitian Media, Jurnal Dialektika, Ubhara Surya, November
Kriyantono,
Rachmat, 2006, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana-Prenada
Littlejohn,
S. W. 1999. Theories of Human Communication 6th
Edition. Belmont, CA: Wadsworth. N/A
Purwasito,
Andrik, 2007, Produk Lokal Semangat Global: Perspektif isi Siaran Penyiaran
Swasta Lokal dan Penyiaran Komunitas, Forum Sosialisasi Regulasi Penyiaran,
Depkominfo & UMM
Tankard,
James W and Werner J Severin. 2005. Teori Komunikasi. Jakarta : Kencana
Tim
Pengabdian pada Masyarakat tentang Media Literacy, Program Ilmu Sosial,
Universitas Brawijaya, Malang, 2007
Undang-Undang
Penyiaran no 32/2002
Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, Komisi Penyiaran Indonesia
*) Artikel ini diperoleh dari http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id/files/2013/01/Rachmat-Jurnal-ttg-Media-Literacy.pdf
Comments
Post a Comment