Pemberdayaan Konsumen Televisi Melalui Ketrampilan Media Literacy dan Penegakan Regulasi Penyiaran

PEMBERDAYAAN KONSUMEN TELEVISI MELALUI KETRAMPILAN MEDIA-
LITERACY DAN PENEGAKAN REGULASI PENYIARAN

Oleh: Rachmat Kriyantono1

Dimuat di Jurnal Penelitian Komunikasi, Media Massa dan Teknologi Informasi, vol 10 no 21, 2007 ISSN 1978-5518


Abstract:

Since reformation era, we have been living in media industry. Now we are living in the era of “television-booming”. There are many television channels come to our home everyday. They are national, local and community televisions which make tight competition occur. Of course, we

–as the consumers of media- are given various programs. It is important to ask how the regulation works. Is the growth of television channels followed by law enforcement? Is the growth of television channels ensued by the ability of audience’s media literacy? This article tries to discuss the roles of the broadcasting regulation and suggests holding the program of media-literacy for society.


Kata Kunci: media literacy, televisi, orang tua, remaja

ERA INDUSTRI MEDIA

Sejak era reformasi, Indonesia mengalami “booming” media televisi. Kita hidup dalam era industri televisi. Setiap detik, rumah kita tiada henti disuguhi produk-produk informasi dari media. Informasi menjadi ”sarapan pertama” di pagi hari dan ”menu terakhir” menjelang tidur. Untuk televisi, setiap hari kita disuguhi berbagai tayangan televisi dari puluhan televisi. Sebut saja RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, ANTV, Trans TV, Trans7, Lativi, Global TV, Metro TV, dan TVRI. Mereka adalah stasiun televisi yang siarannya ”masih” bersifat nasional. Munculnya UU Penyiaran no 32 tahun 2002, sebagai produk reformasi, menyebabkan langit pertelevisian kita semakin beragam. Televisi-televisi lokal dan komunitas mulai tampak bagaikan jamur. Sebut saja JTV, Bali TV, Riau TV, Batu TV, AgroTV Batu, Spacetoone, Mahameru TV, Dharma TV, dan lain-lainnya.

Konsumen televisi pun semakin dimanjakan dengan tampilan berbagai varian program. Memang tidak semuanya adalah program yang benar-benar baru. Banyak juga yang ”baru” tapi ”stok lama” alias duplikasi atau sekedar latah ”nunut populer” program lainnya. Pertanyaannya adalah apakah perkembangan industri televisi ini diikuti oleh perkembangan pola pikir konsumen televisi dalam mencerna setiap program? Imbas dari pertanyaan ini mengajak kita memasuki ranah dampak tayangan bagi konsumen dan bagaimana peran regulasi.

Hal tersebut juga berlaku untuk media lainnya, seperti surat kabar, radio, dan majalah. Untuk surat kabar, Subiyakto, 2001: 18 (dalam Kriyantono, 2002: 63)



1 Rachmat Kriyantono, S.Sos, M.Si adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang.



mengatakan bahwa di media cetak, telah terjadi booming yang cukup besar, dengan kemudahan mendirikan penerbitan dan dihapuskannya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Menurut catatan Serikat Penerbitan Pers (SPS) selama 1997 hingga akhir 1999 saja telah terjadi penambahan 1398 penerbitan pers.

Keberadaan televisi yang makin marak mengiringi modernisasi di tengah masyarakat ternyata tidak sepenuhnya menyumbangkan kontribusi positif bagi masyarakat. Di satu sisi dengan adanya media televisi memang memungkinkan bagi masyarakat untuk mengakses informasi sebanyak dan sejauh yang bisa dicapai. Media televisi pun sukses menjadi jembatan globalisasi dan menipiskan batas-batas jarak maupun ruang antara wilayah yang disebut negara. Mengutip satu konsep yang digagas oleh tokoh komunikasi Marshall Mc Luhan yaitu “global village” atau kampung global, maka televisi telah menunjukkan keampuhannya mewujudkan konsep tersebut. M. Luhan mengatakan “...by electricity we every whre resume person to person relations as if or the smallest village scale”.

Di sisi lain, keberadaan televisi tidak lepas dari kepentingan komersialisasi. Artinya, eksistensi televisi juga bergerak dengan logika ekonomi dan pasar. Televisi juga menjadi produsen dan menghasilkan produk untuk ditawarkan pada audiens sebagai pasarnya. Kepentingan komersial media televisi inilah yang seringkali akan berada dalam kondisi ”semrawut” dengan fungsi idealnya; menjadi jendela bagi atau lokus informasi dan sumber data bagi masyarakat. Bahkan dalam suatu kondisi ekstrem, manakala kepentingan komersial ini lebih dominan, media televisi tidak lebih berfungsi hanya sebagai sarana perpanjangan tangan kelompok kapitalis untuk mencetak keuntungan sebesar-besarnya. Meskipun dengan risiko mengorbankan misi sucinya memberikan perubahan positif bagi masyarakat.


MEDIA DI MASYARAKAT

Organisasi media mendistribusikan pesan yang tidak hanya mempengaruhi tetapi juga merefleksikan kebudayaan suatu masyarakat. Sehingga apa yang terjadi di media menggambarkan apa yang terjadi di masyarakatnya. Apabila sekarang di media-media televisi kita yang menduduki peringkat rating tertinggi adalah tayangan-tayangan yang bermuatan kekerasan, gosip, dan misteri berarti mau tidak mau kita harus mengakui bahwa itulah gambaran masyarakat kita saat ini masyarakat yang menyukai keburukan orang lain, hal-hal yang berbau mistis, dan suka melakukan kekerasan.

Tetapi di sisi lain –dalam perspektif Agenda Setting dan Teori Kultivasi- media televisi berkontribusi besar membentuk pola pikir demikian. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan fungsi media sebagai agen pewarisan sosial maka nilai-nilai kekerasan, mistis, dan gosip itulah yang diwariskan media ke anak cucu kita. Melalui strategi tayangan –cara frame, penonjolan karakter, cara bercerita, dll- televisi bertanggung jawab membentuk pola pikir yang “aneh”. Misalnya, seorang Aa’ Gym menjadi sorotan bahkan dibenci penonton hingga sempat “hilang” dari layar televisi ketika memutuskan poligami. Padahal tidak ada larangan poligami dalam agama Islam. Tayangan televisi seakan-akan memvonis perilaku tersebut sebagai hal yang tabu. Tetapi, bagaimana Inul Daratista dielu-elukan televisi –sebagai ikon pembangkit rating- karena goyang ngebor yang “tidak perlu”. Bagimana Andarla Early dan artis lain yang “menjual diri” dengan pose “menggiurkan” di majalah Playboy malah menjadi ladang menarik penonton. Artinya,



dunia ini terbalik. Yang tidak dilarang agama dikucilkan, yang dilarang agama menjadi besar.

Menurut Laswell (dalam Tankard, 2005 : 386) ada 3 fungsi media massa :
1.      Pengawasan (surveillance)
Disini media sebagai pemberi informasi mengenai lingkungan sosial.
2.      Korelasi (correlation)

Media berfungsi sebagai penyeleksi dan penginterpretasi informasi tentang lingkungan sosial

3.      Penyampaian warisan sosial (transmission of the social herritage)

Merupakan suatu fungsi dimana media menyampaikan informasi, nilai dan norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu apabila tayangan kekerasan, gossip, misteri serta tayangan – tayangan yang berbau sensasionalitas menempati segmen terbanyak dalam media kita maka hal itulah yang generasi kita wariskan kepada generasi selanjutnya dalam hal ini anak-anak penerus bangsa.

Di zaman globalisasi ini media memegang peranan penting dalam memfasilitasi perubahan sosial. Media menjadi salah satu simbol modernisasi. Televisi bukan lagi barang mahal yang hanya dapat dimiliki tingkat ekonomi masyarakat tertentu tetapi sekarang hampir semua golongan mulai dari tingkat akar rumput mengkonsumsi media ini dalam kehidupan sehari-hari. Gerbner dengan Teori Kultivasi percaya bahwa televisi adalah salah satu pengalaman yang hampir selalu dialami oleh setiap individu dalam kehidupannya dan hal tersebut memiliki dampak terhadap bagaimana individu melihat dunia (Littlejohn, 1999:344) Salah satu hal yang paling menarik dalam teori kultivasi adalah adanya “mean world syndrome”. Para pemirsa berat televisi (hard-viewer) percaya bahwa dunia mereka adalah dunia yang berbahaya dan penuh dengan kekerasan karena media yang mereka konsumsi sehari-hari selalu menayangkan kekerasan.

Sebuah teori dari bidang psikologi juga turut memberikan sumbangsih dalam memperluas wacana kita tentang dampak media. Teori Pembelajaran Sosial (Social-Learning Theory) dari Albert Bandura (1977, 1994) menyatakan bahwa individu belajar tentang sesuatu hal melalui pengamatan pada perilaku orang lain. Jenis pembelajaran tersebut dapat dengan jelas terjadi melalui media massa. Seorang individu dalam hal ini anak-anak dapat terlibat dalam perilaku tertentu di televisi dan dapat mempraktikan perilaku itu dalam kehidupannya. Mendukung hal tersebut Tankard (2005) mengemukakan tentang “imitating” atau “modelling hypotesis” bahwa individu mempelajari perilaku agresif dari televisi dan kemudian memproduksi perilaku tersebut. Sepanjang sejarah pertelevisian, keprihatinan utamanya adalah kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi. Analisis isi menunjukkan bahwa televisi menghidangkan segmen tayangan kekerasan yang banyak sekali.

Steinfeld (dalam Tankard, 2005 : 338) menunjukkan bahwa menjelang usia 12 tahun, rata – rata anak akan menyaksikan 101.000 episode kekerasan di televisi, termasuk di dalamnya 13.400 kematian. Hal ini patut kita beri perhatian lebih karena menurut hipotesis rangsangan (Tankard, 2005:339) memprediksikan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan menyebabkan peningkatan dalam perilaku agresif yang sesungguhnya. Tidak dapat dibayangkan betapa mengerikannya ketika pada usia 12 tahun anak-anak sudah tereksploitasi dengan sekian ribu tayangan kekerasan dan dapat berdampak pada perilaku mereka.




MUTU SIARAN RENDAH

Media televisi, di Indonesia menjadi media dengan konsumen terbesar dibanding jenis media lainnya (cetak, radio dan interaktif/internet). Peluang mencari keuntungan pun semakin besar. Namun, sistem kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan semakin mewarnai pola perilaku siaran televisi. Rating menjadi dewa segala-galanya bagi industri ini. Yang penting iklan masuk. Semakin tinggi rating, semakin besar uang yang masuk kocek. Mereka dengan percaya diri menganggap bahwa tayangannya digemari hanya berdasarkan hitung-hitungan rating. Meskipun hingga kini tidak ada jaminan berapa sebenarnya yang suka, berapa yang tidak suka. Jadi, besar kemungkinan terjadi

”bias-rating’.

Masyarakat Indonesia yang sebagian besar belum memiliki tradisi membaca, menjadikan media televisi ini sebagai rekan pengisi waktu luang. Menganggap televisi telah mampu memenuhi semua kebutuhan akan media, termasuk di dalamnya memperoleh informasi bahkan menginterpretasi realitas. Ironisnya, terkadang media lebih dipercaya daripada relasi sosial yang lebih kongkret. Apa yang disajikan di televisi yang bersifat realitas simbolik, itulah yang dianggap sebagai realitas objektif yang tengah terjadi di luar sana. Bahkan semakin lama, media memberikan interpretasi sepihak sehingga mengarahkan pikiran audiens agar mengikuti alur logikanya.

Banyak sekali tayangan sinetron di layar televisi kita -yang jika diamati lebih mendalam -bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong. Jelas ini bertentangan dengan UU Penyiaran 32/2002. Mayoritas acara televisi adalah sinetron yang ’serba ekstra’ (ekstra sadis, ekstra sial, ekstra baik, ekstra kaya raya, ekstra mistis, ekstra cantik, dan ekstra lainnya), tayangan gosip yang “setiap detik” hadir dengan beragam judul namun seragam dalam substansi, serta acara kriminal yang justru tidak memperingatkan audiensnya agar waspada namun malahan menakut-nakuti dan pamer kegagahan aparat atau kesadisan pelaku.

Artinya, tayangan-tayangannya cenderung tidak realistis, mengada-ada, hipereality, dan sulit diterima nalar. Hal ini bukan hanya karena isi tayangan bersifat mistis, tapi juga untuk tayangan-tayangan yang non-mistis. Bahkan dengan seringnya tayangan mistis, maka media semakin mengeksplorasi dunia irrasional kita. Ini negatif bagi kemajuan bangsa. Jika pola pikir irrasional (klenik, mitos) banyak mewarnai perilaku kita maka bangsa ini sulit berkembang.

Contoh sederhana yang dapat diamati dari tampilan sinetron yang cukup populer berjudul Bidadari yang ditayangkan di RCTI. Dalam salah satu adegannya, ditampilkan seorang siswi SMP menyiramkan air raksa ke wajah temannya. Banyak tayangan-tayangan berbau seks yang dibungkus (baca: diperhalus) tayangan-tayangan religi, seperti kisah-kisah pelacur, istri yang selingkuh dalam sinetron Rahasia Ilahi, Hidayah, dan lainnya. Bahkan tayangan yang isinya kebanyakan tentang ”azab Tuhan” yang dikemas berlebihan itu sering membuat saya berguman: ”woh.. apa benar Allah sekejam itu....

manusia saja bisa memaafkan kesalahan, apalagi Allah”.

Ada siswa SD yang berani meledek gurunya di depan kelas dalam sinetron Kecil-Kecil Ngobyek. Seorang Ibu kaya raya, berpendidikan tinggi dengan gampangnya meminta anaknya yang seorang dokter untuk kawin kontrak agar mempunyai cucu kandung. Padahal si anak sudah mempunyai istri. Dengan entengnya ibu tersebut



mengatakan kepada menantunya: ”Jangan khawatir Intan, Rado tetap suamimu. Setelah istri kontraknya hamil dan melahirkan maka Rado dan kamu tetap suami-istri” (ikuti Sinetron Intan-RCTI). Belum lagi isi berita kriminal yang setiap hari ditayangkan di seluruh stasiun televisi kita. Berita pemerkosaan, perlakuan tidak manusiawi pada pelaku kejahatan, dengan diikat lehernya menggunakan tali dan hanya berpakaian dalam, perlakuan yang lebih sesuai untuk hewan daripada manusia.Adegan-adegan dramatisasi seperti ini banyak sekali mewarnai tayangan-tayangan televisi yang ironisnya menempati posisi rating tertinggi.

Padahal jiwa dan semangat UU Penyiaran no 32/2002 dan regulasi penyiaran yang mengikutinya adalah demi mewujudkan isi siaran yang baik, mendidik masyarakat, dan mendukung demokratisasi. Jika kita tilik lagi pasal demi pasal dalam UU Penyaiaran no 32/2002, maka sebenarnya telah mencakup minimal dua kriteria isi siaran dan praktik media yang berkualitas dan dibutuhkan masyarakat, yaitu:

a.       Adanya pluralitas dalam kepemilikan (Plurality of ownership of media)

Ini perlu agar tidak terjadi monopoli informasi. Harus dibatasi kepemilikan pada satu orang, baik untuk media sejenis atau pun kepemilikan silang (untuk lebih dari satu media). Kenyataannya, masih banyak terpusatnya kepemilikan pada satu orang. Sehingga bermunculan kelompok-kelompok raksasa yang menguasai berbagai media. Akibatnya pada isi siaran adalah adanya keseragaman materi, program acara yang pernah diputar di televisi yang satu diputar lagi di televisi lainnya yang masih satu kelompok.

b.      Keberanekaragaman isi (Diversity of content)

Dengan aturan batasan jangkauan dan standar isi siaran diharapkan membuat isi siaran lebih bervariasi. Kesempatan lebih luas untuk mendirikan lembaga siaran (swasta, lokal, komunitas, berlangganan) selain mencerminkan prinsip freedom of publication, juga membuka peluang masyarakat mengekspresikan opini maupun kreativitasnya (adanya diversity of expression). Kenyataannya, isi siaran televisi kita masih seragam. Keseragaman ini terjadi antara lain karena:

·         Banyak praktik daur ulang, duplikasi dan fenomena latah untuk nebeng popularitas saja. Misalnya, acara infotaintmen yang selalu ada di semua stasiun televisi. Bahkan ada stasiun televisi yang mempunyai lebih dari satu acara yang

“sekedar ngomongin orang” ini, tentu dengan variasi judul, meski kemasan dan isinya sama. Dalam jurnalistik, fenomena ini dikenal dengan consonance of journalism, yaitu adanya perulangan pesan secara intensif sehingga terjadi keseragaman pesan (message uniformity).

·         Rendahnya kreativitas pengelola media. Munculnya “Jakartaisasi” merupakan buktinya. Bahkan tayangan-tayangan yang berbau Jakarta - termasuk gaya bahasanya- masih banyak ditemui pada televisi lokal maupun komunitas di daerah.

·         Media masih berpola pikir “given” bukan “shape”. Artinya, media televisi jangan hanya sekedar memberi tontonan untuk masyarakat. Tetapi, harus bertanggung jawab membentuk pola pikir yang positif. Sehingga setiap tayangan harus



mempunyai visi membentuk masyarakat yang berpendidikan, kritis, dan demokratif.

Lalu mengapa hingga kini dua kriteria tersebut berjalan? Ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh semua komponen bangsa, yaitu:

  1. Pentingnya kesadaran pengelola media akan tanggung jawab profesinya untuk memajuan bangsa. Praktik media jangan hanya berdasarkan pada indikator-indikator semu, seperti rating, iklan dan selera pasar.

  1. Pentingnya sosialisasi ketrampilan media literacy bagi konsumen media. Para penonton televisi mesti diberikan ”pencerahan” bagaimana cara memilih acara yang berkualitas. Sosialisasi ini merupakan tanggung jawab bersama, baik pemerintah, KPI, akademisi maupun pengelola media itu sendiri.

  1. Pentingnya penegakan regulasi penyiaran dengan tegas. Dalam UU Penyiaran 32/2002 sudah jelas pembagian wewenang penegakan regulasi. Untuk materi isi, kewenangan berada di tangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Prinsipnya, harus ditegakkan apakah isi siaran sudah memenuhi asas public’s needs, public’s necessity, dan public’s importance. KPI saat ini telah menerbitkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Tetapi, penegakan regulasi tersebut tentu melibatkan berbagai unsur lainnya, termasuk kepolisian, kejaksaan dan lainnya.


MEDIA LITERACY BAGI KONSUMEN MEDIA

Pengaruh tayangan televisi sangat besar bagi konsumen media. Salah satu elemen masyarakat yang rentan pada pengaruh tayangan televisi adalah anak-anak dan remaja. Mereka adalah kelompok usia yang mempunyai daya imitasi cukup tinggi. Mereka cenderung mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Salah satunya terhadap objek tayangan televisi. Secara psikologis, remaja mempunyai kecenderungan untuk melakukan peniruan (imitasi) terhadap tayangan-tayangan di televisi. Dikhawatirkan, semakin sering seseorang menonton televisi akan mempengaruhi pola pikir maupun pola tindaknya. Hal ini diperkuat oleh Teori Peluru yang menganggap tayangan media mempunyai kekuatan luar biasa dalam mempengaruhi khalayak. Tayangan yang berbau kekerasan, klenik, pornografi seyogyanya tidak dipertontonkan secara bebas.

Sayangnya, orang tua seringkali menganggap sebagai hal yang biasa ketika remaja menonton televisi. Mereka menganggap sesuatu hal biasa bila terjadi peniruan tayangan televisi. Karena itu, perlu kiranya pemberian pengetahuan kepada remaja terhadap keterampilan melek media. Sebagaimana kemampuan literacy pada umumnya, apa yang disebut dengan “melek media” tentunya bukan sekedar kemampuan untuk menonton atau menikmati tayangan media. Hal ini adalah kemampuan dasar manakala seseorang memiliki fisik yang normal, tidak cacat.

Melek media adalah keterampilan untuk menganalisis isi media. Dalam tataran yang sederhana, melek media adalah keterampilan untuk mencerna tayangan media, mengkritisi, dan memilih untuk tidak mengonsumsi tayangan karena menyadari isi tayangan tersebut memunculkan resiko. Tujuannya agar konsumen media lebih mampu memahami dan tidak mudah meniru adegan yang terdapat dalam tayangan apabila hal tersebut berbahaya.



Perhatian terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh dampak tayangan seharusnya menjadi agenda prioritas saat ini. Dengan keterampilan media literacy atau melek media, diharapkan para remaja dapat menghadapi dampak negatif yang diakibatkan oleh televisi.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam ketrampilan media literacy ini mencakup:

1.      Memberikan pengetahuan kepada konsumen media akan pentingnya memiliki keterampilan media literacy dalam menonton tayangan media

2.      Menunjukkan resiko yang dapat terjadi apabila konsumen media menonton tayangan yang mengandung unsur-unsur berbahaya, semisal seks dan kekerasan, termasuk tayangan yang bersifat irrasional.

3.      Memberikan pembelajaran keterampilan panduan media bagi konsumen media.

4.      Meningkatkan keterampilan komunikasi persuasif konsumen media dalam rangka sosialisasi keterampilan media literacy pada peer group-nya.

Secara umum program peningkatan ketrampilan media-literacy ini dapat bermanfaat untuk:

1.          Memberikan bekal pengetahuan tentang media literacy.

2.          Dengan kesadaran untuk menerapkan media literacy, diharapkan di masa mendatang remaja mampu menyikapi kehadiran televisi dan meminimalisasi pengaruh negatif yang diakibatkannya.

3.          Lebih jauh, masyarakat Indoensia akan lebih cerdas menghadapi media televisi sehingga memiliki daya untuk menolak, bahkan melawan program-program televisi yang berpotensi merusak masa depan generasi bangsa.

Berdasarkan kenyataan tersebut melek media menjadi suatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi di masyarakat kita apabila kita ingin menyelamatkan generasi penerus bangsa kita. Perlunya sebuah pengenalan bahwa media membangun gambaran dan pemahaman kita mengenai dunia sosial. Media sudah menjadi pencerita kita (story tellers) tentang dunia sosial, media juga penghibur kita ( entertainers ) dan secara khusus mereka memiliki dampak terhadap diri kita semenjak kita seringkali tidak menyadari bahwa sajian media itu sendiri adalah sebuah bentuk pengajaran atau edukasi yang menyampaikan pengetahuan budaya, nilai-nilai dan norma – norma di masyarakat yang baik kita sadari atau tidak membentuk the way of life kita, bagaimana kita melihat dan hidup dalam dunia sosial kita. Konsep "melek media" merupakan alternatif memberdayakan masyarakat di tengah gempuran besar-besaran dari media.

Dalam media literacy terdapat pengetahuan tentang bagaimana media bekerja, bagaimana media membangun makna-makna sosial dan bagaimana media berfungsi dalam kehidupan kita sehari-hari. Pada dasarnya, konsep ini memiliki tujuan untuk mendidik masyarakat dalam hal ini remaja agar mampu menggunakan media secara cerdas dan kritis. Sehingga remaja sebagai individu dapat meminimalisir ekses pesan media terhadap perkembangan mereka. Seorang individu yang melek media kemudian menjadi seorang individu yang mampu untuk membaca, memahami, mengevaluasi, menyeleksi dan mengkritik pesan-pesan media. Melek media, kemudian diwujudkan dalam tindakan konkret berupa pendidikan dan pelatihan bagi remaja mengenai dampak dan isi media. Dengan kemampuan semacam ini, konsumen media bukan lagi sebagai



khalayak pasif tetapi khalayak aktif yang dapat meyeleksi dan menginterpretasikan pesan-pesan media.


PENEGAKAN REGULASI PENYIARAN

Tak salah jika dikatakan kita ini hidup dalam dunia penyiaran yang bebas. Sejak Deppen dilikuidasi tahun 1999, produk hukum penyiaran yang dihasilkannya (UU Penyiaran 24/1997) juga turut dilikuidasi. Penggantinya (UU Penyiaran 32/2002) ternyata hingga kini masih dilaksanakan “setengah hati”. Bahkan Direktur Penyiaran Ditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Depkominfo dalam Forum Sosialisasi Regulasi Penyiaran di Malang menyebutnya sebagai kevakuman pelayanan publik di bidang penyiaran yang terjadi selama 4,5 tahun terakhir ini.

Bisa ditebak apa yang terjadi. Di bidang perizinan, telah tumbuh ribuan lembaga penyiaran illegal yang bahkan mendesak stasiun penyiaran yang berizin resmi, banyaknya izin-izin penyiaran lokal yang dikeluarkan pemerintah daerah dengan dasar UU Otonomi Daerah (bukan UU Penyiaran), dan penggunaan frekuensi yang “semau gue”. Di bidang isi siaran, terjadi kebebasan memproduksi tayangan tanpa bisa diatur sehingga dapat berpengaruh negatif terhadap masyarakat khususnya anak-anak. Pengelola media masih banyak yang tidak patuh pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dari KPI. Sebenarnya, UU Penyiaran no 32/2002 dengan jelas membuat regulasi tentang standar siaran. Standar ini mestinya menjadi acuan bagi pengelola media dalam memproduksi tayangan media, antara lain bahwa tayangan media mesti mengandung:

a.       rasa hormat terhadap pandangan keagamaan
b.      rasa hormat terhadap hal pribadi
c.       kesopanan dan kesusilaan
d.      pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme
e.       perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan
f.       penggolongan program berdasarkan usia khalayak
g.      aturan penyiaran program dalam bahasa asing
h.      larangan siaran bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong

i.        larangan menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika, dan obat terlarang

j.        larangan mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan

k.      larangan memperolok, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia atau merusak hubungan internasional.

Selain itu, kevakuman ini menyebabkan masih adanya pemusatan kepemilikan, modal asing, dan maraknya kepemilikan silang.




DAFTAR PUSTAKA

Kriyantono, Rachmat, 2002, Aplikasi Teori Niche Dalam Penelitian Media, Jurnal Dialektika, Ubhara Surya, November



Kriyantono, Rachmat, 2006, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana-Prenada

Littlejohn, S. W. 1999. Theories of Human Communication 6th Edition. Belmont, CA: Wadsworth. N/A

Purwasito, Andrik, 2007, Produk Lokal Semangat Global: Perspektif isi Siaran Penyiaran Swasta Lokal dan Penyiaran Komunitas, Forum Sosialisasi Regulasi Penyiaran, Depkominfo & UMM

Tankard, James W and Werner J Severin. 2005. Teori Komunikasi. Jakarta : Kencana

Tim Pengabdian pada Masyarakat tentang Media Literacy, Program Ilmu Sosial, Universitas Brawijaya, Malang, 2007

Undang-Undang Penyiaran no 32/2002

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, Komisi Penyiaran Indonesia

*) Artikel ini diperoleh dari http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id/files/2013/01/Rachmat-Jurnal-ttg-Media-Literacy.pdf 


Comments

Popular posts from this blog

Profil William F Ogburn

LINE Let's Get Rich VS MONOPOLI

Komunikasi dan Perubahan Sosial